KAMAR KAMAR RAWAT
Senandung lirih dari iwan fals mengiringi
perjalanan menyusuri jalan narogong melewati pinggiran kalimalang dan
pinggiran banjir kanal timur menuju rawamangun secara berulang entah
berapa kali dilantunkan dan selalu tidak kelar syairnya. Bekas hujan
sangat merisaukan perjalanan diatas motor yang sudah aus ban depan
maupun belakang, kabarnya ban dalamnya rata-rata sudah lebih tiga kali
mampir ke tukang tambal ban. Sampai pintu masuk seperti biasa berhenti
sesaat menunjukan free parking card untuk sekedar discan dan menepi ke
tempat yang itu itu lagi di bawah naungan pohon besar yang kini
dirampingkan seramping-rampingnya karena pengelola parkir takut
pohonnya membuat kesialan.
Mengenakan pakaian yang sepertinya
itu-itu saja atasan kaos coklat dan celana jeans yang mulai luntur tetap
membuat semangat melangkahkan kakinya menuju ke tempat ganti. Pakailah
baju seragam warna hijau dengan sepatu hitam mengkilap pemberian
seseorang menuju ruangan dengan memberikan salam . Buku besar ada 2
buah kemudian dibukanya dan terbaca secara seksama langsung dilanjutkan
operan jaga dari shift sebelumnya.
Mengambil stetoskop hitam dalam
lemari kaca dibalik pintu dan menentengnya menyusuri koridor pendek dan
langsung masuk sebuah kamar di ujung tepatnya bertuliskan km 9.
Mengulurkan tangan seraya senyum dan mengenalkan diri “Apa yang
sekarang dirasakan bapak?”
“ masih sesek sama nyeri ulu hati” jawab pasien bernama Edi sambil terbata-bata dengan muka merah.
Edi
seorang pasien yang diduga TB MDR sedang mengikuti sebuah program
pengobatan gratis selama 6 bulan dari rencana minimal 20 bulan. Perut
teraba rata dan keras begitu dilakukan ketukan tidak terdengar gema.
Meluncur beberapa kata-katanya yang akan tetap mengikuti pengobatan
meski terasa payah seperti mau meninggal bila datang sesaknya. Edi
frekuensi nafasnya masih 26 kali permenit dari rata-rata normal 20 kali
permenit. Selang oksigen masih melingkari kepala dengan penunjuk bola
kecil di angka 3 lt.
TB MDR merupakan penyakit TBC jaman dulunya
yang sudah tidak dapat lagi dengan pengobatan TB biasa karena 2 obatnya
mengalami resistensi yaitu rifampicin dan INH dari 5 macam obat yang
sudah dijalaninya. Riwayatnya Edi yang jualan siomay keliling berobat ke
puskesmas karena batuknya sempat ada darahnya. Diperiksalah dahaknya
sampai 3 kali dan hasilnya ditemukan kuman BTA yang harus mengikuti
program pengobatan tanpa dipungut biaya.
Batuknya hanya sedikit
berkurang setelah hari ke 16 mual yang hanya tak seberapa menjadi hebat
sampai setiap makanan ditolaknya, lapor ke puskesmas obat suruh
diterusin karena memang begitu reaksinya demikian kata dokter puskesmas.
Edi hanya bisa menurut sampai seminggu kesabarannya sudah luntur
setelah beberapa kali lapor dengan jawaban sama. Matanya agak kuning dan
muntah terus hanya bisa tiduran di atas bale yang telah dilapisi tiker
pandan dan sebuah bantal bersama istri. Ingin sekali Edi berobat ke
rumah sakit, tapi apa daya untuk makan saja tak ada duit, untungnya
istrinya yang tukang cuci pakaian tetangga masih setia menemani.
Setelah sepuluh hari tanpa minum obat Edi dapat bangun dari tidur dan muntah sudah tidak lagi hanya sedikit mual.
Setengah
tahun berlalu seperti biasa menjajakan siomay keliling dengan sepeda
dari seorang juragan kecil. Batuk darah yang sempat dilupakan datang
lagi, tapi Edi masih trauma untuk berobat hanya didiamkan saja. Rupanya 5
hari sudah batuk darahnya sering dan tergeraklah untuk berobat ke
dokter praktek karena trauma puskesmas meski ke dokter praktek akan
keluar duit banyak. Tanpa periksa dahak kali ini Edi diberikan obat
batuk dan katanya obat TB 2 macam, padahal dulunya di puskesmas 4 macam
melewati periksa dahak. Sebulan sudah dilalui batuk darahnya tidak lagi
dan terasa payah untuk menebus obat lagi dan konsultasi dokter boleh
kalau hasil ronsen membaik. Dokter dengan berat hati menyetujui berhenti
minum tanpa memberi saran apapun.
Setahun dua bulan berlalu dan
kini sesak yang tak tertahankan membawanya masuk rumah sakit yang
terkenal merawat penyakit paru setelah kakaknya siap menjaminkan biaya
pengobatannya. Selama dua minggu menjalani rawat di rumah sakit Edi
dinyatakan TB MDR yang terngiang dipikirannya adalah mati. Untungnya di
rumah sakit sedang ada program pengobatan TB MDR.
Selalu dibenaknya
salah siapa menjadi begini. Perasaan sebagai orang sangat kecil selalu
menerima keadaannya. Andai-andainya seputar mengapa dokternya dulu tidak
menjelaskan keadaannya atau memberikan jalan keluar. Edi kini semakin
mengerti denagn TB karena setiap perbincangan hanya masalah TB dengan
problematikannya.
Masuk ke kamar lain yang berisi perempuan
disapanya ny. Irah yang sedang mengeluh sesak setelah turun dari tempat
tidur sehabis BAB. Ny irah menanyakan seputar ciri-ciri penyakit TB dan
penyakit apa yang kemungkinan sedang dideritanya. Bersama suaminya
dengan handuk kecil mengusap muka yang putih. Cerita muncul dari
suaminya tentang kebingungan pengobatan di daerah asalnya dari batam.
Memiliki
2 anak yang satu tampak kecil dan satunya tampak segar sehat
memeriksakan diri berobat ke dokter spesialis anak. Khawatir dengan anak
yang pertumbuhannya terganggu disarankan oleh dokter untuk periksa uji
tuberculin. Wal hasil katanya Yani yang kecil negative sementara Dian
yang gemuk positif. Tanpa pemeriksaan lain lagi Dian mengikuti
pengobatan selama 6 bulan sampai dokter mengatakan cukup dan Yani yang
tanpa pengobatan hanya minum vitamin nafsu makan beberapa kali kini
sudah tampak gemuk sehat.
“Pak, apakah tanpa keluhan dan tanda-tanda bisa dinyatakan sakit TB?” kata Didi suami Irah.
“Setahuku
semua penyakit akan diawali dengan namanya keluhan atau gejala klinis,
apalagi TB pasti ada gangguan disekitar area nafas.”
“Mengapa Dian yang tanpa tanda-tanda tetap diobati hanya berdasar uji tuberculin?”
“Waduh, saya tidak tahu alasan di sana tetap mengobati TB tanpa gejala klinis.”
“Berarti anak saya berobat selama 6 bulan tanpa ada penyakit.” Ketus Didi.
“Sekali
lagi saya tidak tahu alasan disana, tetapi pendapat saya seperti itu
dan menurut saya sebaiknya anda semua selalu eling dan waspada,
informasi sekarang sudah terbuka dan dapat dicari lewat internet.”
Didi
masih bingung dan kadang jengkel mengapa mendapat perlakukan seperti
ini. Apakah tidak ada standard jelas pengobatan yang ada di negeri ini,
sementara pengakuan dari dokter di negeri tetangga juga mengatakan tanpa
gejala klinis tidak ada penyakit, data penunjang adalah untuk
meyakinkan keluhan dan tanda tanda sakit. Gelar sarjana yang
disandangnya membuat didi merasa geram, bagaimana dengan orang lain yang
status ekonominya lebih rendah. Pantesan di negeri tetangga yang dekat
dengan Batam banyak sekali orang kita berobat yang sering disebut indon.
Sesekali terbayang ingin menuntut keadilan seperti Prita, tapi kini
mentah lagi mendengar Prita yang didukung orang banyak dan dana kumpulan
dari masyarakat sepertinya juga masih kalah posisinya. Apakah ini
sebuah industrialisasi, ataukah orang orangnya sudah mulai gila.
Meninggalkan
kamar 8 bergeser ke kamar kamar lain sampai 10 kamar semua penuh satu
kamar berisi tiga tempat tidur dan semua dirawat 26 orang. Perawat jaga
ada 3 orang dan dokter satu menunggu di kamar dokter, sampai kapan
keadaan seperti ini terlalu banyak kamar dan terlalu sedikit penjaga.
Persahabatan hospital 25 sep 2010 jam 10.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar