Kamis, 21 Juni 2012

KAMAR KAMAR RAWAT

KAMAR KAMAR RAWAT

Senandung lirih dari iwan fals mengiringi perjalanan menyusuri jalan narogong melewati pinggiran kalimalang dan pinggiran banjir kanal timur menuju rawamangun secara berulang entah berapa kali dilantunkan dan selalu tidak kelar syairnya. Bekas hujan sangat merisaukan perjalanan diatas motor yang sudah aus ban depan maupun belakang, kabarnya ban dalamnya rata-rata sudah lebih tiga kali mampir ke tukang tambal ban. Sampai pintu masuk seperti biasa berhenti sesaat menunjukan free parking card untuk sekedar discan dan menepi ke tempat yang itu itu lagi di bawah naungan pohon besar yang kini dirampingkan seramping-rampingnya karena pengelola parkir takut  pohonnya membuat kesialan.

Mengenakan pakaian yang sepertinya itu-itu saja atasan kaos coklat dan celana jeans yang mulai luntur tetap membuat semangat melangkahkan kakinya menuju ke tempat ganti. Pakailah baju seragam warna hijau dengan sepatu hitam mengkilap pemberian seseorang menuju ruangan dengan  memberikan salam . Buku besar ada 2 buah kemudian dibukanya dan terbaca secara seksama langsung dilanjutkan operan jaga  dari shift sebelumnya.
Mengambil stetoskop hitam dalam lemari kaca dibalik pintu dan menentengnya menyusuri koridor pendek dan langsung masuk sebuah kamar di ujung tepatnya bertuliskan km 9. Mengulurkan tangan seraya senyum dan mengenalkan  diri  “Apa yang sekarang dirasakan bapak?”
“ masih sesek sama nyeri ulu hati” jawab pasien bernama Edi sambil terbata-bata dengan muka merah.
Edi seorang pasien yang diduga TB MDR sedang mengikuti sebuah program pengobatan gratis selama 6 bulan dari rencana minimal 20 bulan. Perut teraba rata dan keras begitu dilakukan ketukan tidak terdengar gema. Meluncur beberapa kata-katanya yang akan tetap mengikuti pengobatan meski terasa payah seperti mau meninggal bila datang sesaknya. Edi frekuensi nafasnya masih 26 kali permenit dari rata-rata normal 20 kali permenit. Selang oksigen masih melingkari kepala dengan penunjuk bola kecil di angka 3 lt.

TB MDR merupakan penyakit TBC jaman dulunya yang sudah tidak dapat lagi dengan pengobatan TB biasa karena 2 obatnya mengalami resistensi yaitu rifampicin dan INH dari 5 macam obat yang sudah dijalaninya. Riwayatnya Edi yang jualan siomay keliling berobat ke puskesmas karena batuknya sempat ada darahnya. Diperiksalah dahaknya sampai 3 kali dan hasilnya ditemukan kuman BTA yang harus mengikuti program pengobatan tanpa dipungut biaya.
Batuknya hanya sedikit berkurang setelah hari ke 16 mual yang hanya tak seberapa menjadi hebat sampai setiap makanan ditolaknya, lapor ke puskesmas obat suruh diterusin karena memang begitu reaksinya demikian kata dokter puskesmas. Edi hanya bisa menurut sampai seminggu kesabarannya sudah luntur setelah beberapa kali lapor dengan jawaban sama. Matanya agak kuning dan muntah terus hanya bisa tiduran di atas bale yang telah dilapisi tiker pandan dan sebuah bantal bersama istri. Ingin sekali Edi berobat ke rumah sakit, tapi apa daya untuk makan saja tak ada duit, untungnya istrinya yang tukang cuci pakaian tetangga masih setia menemani.
Setelah sepuluh hari tanpa minum obat Edi dapat bangun dari tidur dan muntah sudah tidak lagi hanya sedikit mual.
Setengah tahun berlalu seperti biasa menjajakan siomay keliling dengan sepeda dari seorang juragan kecil. Batuk darah yang sempat dilupakan datang lagi, tapi Edi masih trauma untuk berobat hanya didiamkan saja. Rupanya 5 hari sudah batuk darahnya sering dan tergeraklah untuk berobat ke dokter praktek karena trauma puskesmas meski ke dokter praktek akan keluar duit banyak. Tanpa periksa dahak kali ini Edi diberikan obat batuk dan katanya obat TB 2 macam, padahal dulunya di puskesmas 4 macam melewati periksa dahak. Sebulan sudah dilalui batuk darahnya tidak lagi dan terasa payah untuk menebus obat lagi dan konsultasi dokter boleh kalau hasil ronsen membaik. Dokter dengan berat hati menyetujui berhenti minum tanpa memberi saran apapun.

Setahun dua bulan berlalu dan kini sesak yang tak tertahankan membawanya masuk rumah sakit yang terkenal merawat penyakit paru setelah kakaknya siap menjaminkan biaya pengobatannya. Selama dua minggu menjalani rawat di rumah sakit Edi dinyatakan TB MDR yang terngiang dipikirannya adalah mati. Untungnya di rumah sakit sedang ada program pengobatan TB MDR.
Selalu dibenaknya salah siapa menjadi begini. Perasaan sebagai orang sangat kecil selalu menerima keadaannya. Andai-andainya seputar mengapa dokternya dulu tidak menjelaskan keadaannya atau memberikan jalan keluar. Edi kini semakin mengerti denagn TB karena setiap perbincangan hanya masalah TB dengan problematikannya.

Masuk ke kamar lain yang berisi perempuan disapanya ny. Irah yang sedang mengeluh sesak setelah turun dari tempat tidur sehabis BAB.  Ny irah menanyakan seputar ciri-ciri penyakit TB dan penyakit apa yang kemungkinan sedang dideritanya. Bersama suaminya dengan handuk kecil mengusap muka yang putih. Cerita muncul dari suaminya tentang kebingungan pengobatan di daerah asalnya dari batam.

Memiliki 2 anak yang satu tampak kecil dan satunya tampak segar sehat memeriksakan diri berobat ke dokter spesialis anak. Khawatir dengan anak yang pertumbuhannya terganggu disarankan oleh dokter untuk periksa uji tuberculin. Wal hasil katanya Yani yang kecil negative sementara Dian yang gemuk positif. Tanpa pemeriksaan lain lagi Dian mengikuti pengobatan selama 6 bulan sampai dokter mengatakan cukup dan Yani yang tanpa pengobatan hanya minum vitamin nafsu makan beberapa kali kini sudah tampak gemuk sehat.
“Pak, apakah tanpa keluhan dan tanda-tanda bisa dinyatakan sakit TB?” kata Didi suami Irah.
“Setahuku semua penyakit akan diawali dengan namanya keluhan atau gejala klinis, apalagi TB pasti ada gangguan disekitar area nafas.”
“Mengapa Dian yang tanpa tanda-tanda tetap diobati hanya berdasar uji tuberculin?”
“Waduh, saya tidak tahu alasan di sana tetap mengobati TB tanpa gejala klinis.”
“Berarti anak saya berobat selama 6 bulan tanpa ada penyakit.” Ketus Didi.
“Sekali lagi saya tidak tahu alasan disana, tetapi pendapat saya seperti itu dan menurut saya sebaiknya anda semua selalu eling dan waspada, informasi sekarang sudah terbuka dan dapat dicari lewat internet.”

Didi masih bingung dan kadang jengkel mengapa mendapat perlakukan seperti ini. Apakah tidak ada standard jelas pengobatan yang ada di negeri ini, sementara pengakuan dari dokter di negeri tetangga juga mengatakan tanpa gejala klinis tidak ada penyakit, data penunjang adalah untuk meyakinkan keluhan dan tanda tanda sakit. Gelar sarjana yang disandangnya membuat didi merasa geram, bagaimana dengan orang lain yang status ekonominya lebih rendah. Pantesan di negeri tetangga yang dekat dengan Batam banyak sekali orang kita berobat yang sering disebut indon. Sesekali terbayang ingin menuntut keadilan seperti Prita, tapi kini mentah lagi mendengar Prita yang didukung orang banyak dan dana kumpulan dari masyarakat sepertinya juga masih kalah posisinya. Apakah ini sebuah industrialisasi, ataukah orang orangnya sudah mulai gila.
Meninggalkan kamar 8 bergeser ke kamar kamar lain sampai 10 kamar semua penuh satu kamar berisi tiga tempat tidur dan semua dirawat 26 orang. Perawat jaga ada 3 orang dan dokter satu menunggu di kamar dokter, sampai kapan keadaan seperti ini terlalu banyak kamar dan terlalu sedikit penjaga.

Persahabatan hospital 25 sep 2010 jam 10.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar